News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Menggagas Pendidikan Multikultural di Tengah Pluralisme Bangsa

Menggagas Pendidikan Multikultural di Tengah Pluralisme Bangsa

Pendidikan
(Foto : Kepala MAN 1 Lombok Barat ,Fasilitator Propinsi NTB, H.ABDUL AZIS FARADI,S.Pd.,M.Pd. ). 


OLEH :  H.ABDUL AZIS FARADI,S.Pd.,M.Pd. 

Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh l0 belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. 

Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia. 

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.  

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama. Selanjutnya James Bank,  -salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).


Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar (2009) mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; Pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia; Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. 

Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya. Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. 

Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural. Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok. 

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas.

Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.

 Oleh karena itu, Penulis berharap cukup proporsional jika, proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.*


Tags

Global Lombok

Yuk Daftar Sebagai Pelanggan Setia Media globallombok.co.id Dapatkan Door Prize Nginep Di Hotel Yang ada Di lombok.

Posting Komentar